Adian Muhammad Al Rasuli
"Saya bangga, tapi baru seminggu menjadi mahasiswa. Jadi, sampai saat ini masih pada tahap mencari apa yang saya mau dan akan lakukan," kata Adian yang lahir 14 November 1990.
Seperti Riana, Adian juga masuk program akselerasi. "Saya sudah biasa, kok. Belajar dengan sistem akselerasi saya anggap normal-normal saja. Cara akselerasi itulah belajar yang normal. Sebaliknya, ketika kelas satu saya sempat masuk di kelas reguler justru saya anggap aneh, soalnya pelajarannya sering diulang-ulang," paparnya riang.
Omong-omong kapan waktu belajar yang enak? "Kalau cara belajarnya seperti orang lain yang baca buku, saya bisa dibilang enggak pernah. Saya belajar dari game, misalnya saja bahasa Inggris. Kebetulan saya memiliki daya ingat yang bagus. Ini yang membuat saya bisa masuk kelas akselerasi hingga SMA," ujar Adian yang mengaku tak sulit menghafal rumus-rumus.
Remaja yang tingginya 172 cm dan berat 85 kg ini mengaku tak sulit dalam bergaul. "Biasa saja, tuh. Sesekali saya masih gabung dengan teman-teman seusia saya. Mungkin nanti saya kesulitan bergaul dengan teman sesama mahasiswa. Soalnya umur mereka, kan, jauh di atas saya. "
JARANG BELAJAR
- Menurut ayah Adian, Agustian Purnama (51), sejak masih janin putranya itu sudah berbeda dari dua kakaknya, Fina Sallyta dan Fista Cempaka.
Waktu hamil, sang Intan Permani Safitri (45) sering minta makan sea food terutama sop kepiting. "Hampir tiap minggu kami ke Pacenongan untuk makan sop kepiting. Sementara ketika hamil dua kakaknya, istri saya tidak seperti itu, biasa saja," ujar Agustian mengenang.
Alumni ITB ini mengungkapkan, sejak balita Adian sudah menunjukkan kecerdasannya. Ia sudah senang bertanya dan membaca. "Kami hanya memberikan sebatas pengajaran sedini mungkin. Misalnya mengenalkan huruf, angka, dan membaca. Selanjutnya kami banyak membelikan buku baginya. Usia dua tahun, dia sudah bisa membaca koran."
Menyadari Adian memiliki kecerdasan tinggi, pada usia 4 tahun Adian diajak ke Lembaga psikologi UI untuk mengetahui seputar bakat, tes IQ, dan minat. Hasilnya cukup mencengangkan. "Di sana Adian mampu menjawab semua tes IQ dengan cepat. Hasilnya, selain daya ingat dan daya tangkapnya sangat menonjol, IQ Adian hampir 150!"
Ketika masuk SD, Adian sempat kesulitan karena usianya baru 4 tahun, sementara persyaratan masuk SD harus 6 tahun. "Hampir semua SD yang kami datangi menolak Adian. Yang bersedia menerima hanya SD Negeri 07 di Pejaten Barat. Guru kepala sekolahnya sempat mendapat peringatan keras dari Depdikbud karena menerima murid usia 4 tahun. "
Namun, Adian sanggup mengikuti pelajaran, bahkan sejak kelas 1 hingga 6, Adian hampir selalu ranking satu. Hebatnya, Adian nyaris tidak pernah belajar, bahkan sampai ia lulus SMA. "Kalau pun ibunya setengah memaksa agar belajar, Adian malah menangis. Sebaliknya, sejak SD sampai SMA, Adian selalu bermain komputer, baca komik," ujar Agus sambil memperlihatkan koleksi ratusan mainan Adian yang tersusun di sebuah lemari berkaca.
Semasa SMP Lab School, Adian masuk program akselerasi dan menyelesaikan SMP hanya dua tahun. Begitu juga di SMA Al Azhar, Adian mengikuti program akselerasi. "Boleh dibilang Adian menonjol di semua mata pelajaran dengan nilai di atas 7, namun yang paling disukainya Matematika dan Fisika. Adian pun berhasil menyelesaikan pendidikan SMA selama 2 tahun saja.
Lulus SMA, Adian telah diterima di lima Perguruan tinggi, di antaranya UI, Swiss Germany University (SGU) Serpong, dan ITB. Adian pun memilih ITB. "Mula-mula saya menganjurkan dia memilih Teknik Arsitektur, tetapi dia menolak. Akhirnya dia memilih Teknik Informatika dan Teknik Industri," jelas Agus.
Setelah mengikuti testing penerimaan mahasiswa di ITB. Adian pun lolos. Masih belum cukup, Agus juga mendaftarkan Adian kuliah khusus IT (Informatica Technology) di Bandung selama 4 semester. Kenapa? "Saya anggap dia masih mampu. Mudah-mudahan Adian bisa menyelesaikan kuliah tersebut dengan lancar."
Sebenarnya pilihan perguruan tinggi bagi Adian bukan hanya ITB. Ia juga ditawari masuk dengan fasilitas beasiswa di salah satu universitas di Jerman dan Nanyang University di Singapura. Hanya saja Adian belum bisa jauh dari ibunya.
"Adian memang enggak bisa jauh dari ibunya. Sebaliknya ibunya juga demikian. Kalau makan, Adian masih suka disuapi ibunya, tidur pun masih dikeloni. Adian memang terlalu kolokan sama ibunya," paparnya.
Selain bidang pelajaran, Agus juga memperhatikan aspek sosial anaknya. "Terkadang, orang pandai di bidang hard skill, ketinggalan di bidang soft skill seperti leadership, personality, relationship. Saya menyadari hal itu, tetapi karena dia masih kanak saya biar